Makalah Politik Islam, ham, dan demokrasi
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Politik Islam dapat dimaknai “aktivitas
politik sabagian acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok.” Pendukung
perpolitikan ini belum tentu seluruhnya pemeluk Islam, namun boleh berasal dari
luar komunitas Muslim. Politik Islam, secara substansial, merupakan penghadapan
Islam dengan kekuasaan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku politik (political behavior) serta budaya politik
(political culture) yang berorientasi
pada nilai-nilai Islam. Sikap, perilaku, dan budaya politik yang memakai kata
sifat Islam bermula dari suatu keprihatinan moral dan doktrinal terhadap
keutuhan komunitas spiritual Islam.
1.2. Rumusan Masalah
1) Apa itu politik, demokrasi dan ham menurut islam ?
2) Apa saja prinsip-prinsip dasar dan cita-cita polik islam ?
3) Apa prinsip-prinsip politik luar negri dalam
islam ?
4) Apa hak dan kewajiban asasi manusia menurut
ajaran islam ?
1.3. Tujuan Penulisan Makalah
1) Untuk mengetahui pengertian politik, demokrasi dan ham menurut islam.
2) Untuk mengetahui prinsip-prinsip dasar dan cita-cita polik islam.
3) Untuk mengetahui prinsip-prinsip politik luar negri dalam islam.
4)
Untuk
mengetahui hak dan
kewajiban asasi manusia menurut ajaran islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
PENGERTIAN
POLITIK ISLAM
Untuk
memperoleh pemahaman yang tepat tentang politik secara umum dan politik secara
Islam, perlu terlebih dahulu untuk melihat asal-usul dan definisi dari istilah
“politik” dan “negara” dalam penggunaan kontemporernya. Kata politik berasal
dari bahasa Yunani, polis yang
berarti “kota”. Pada era modern, istilah politik berarti “segala aktivitas atau
sikap yang bermaksud mengatur kehidupan masyarakat. Di dalamnya, terkandung
unsur kekuasaan untuk membuat aturan hukum dan menegakkannya dalam kehidupan
masyarakat yang bersangkutan”(Salim, 1994:291)
Sedangkan kata
negara, dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan state, yang berasal dari bahasa Latin status, atau stato dalam bahasa Italia, dan etat dalam bahasa Prancis. Menurut
Webster’s Dictionary, negara adalah “sejumlah orang yang mendiami secara
permanen suatu wilayah tertentu dan diorganisasikan secara politik di bawah
suatu pemerintahan yang berdaulat yang hampir sepenuhnya bebas dari pengawasan
luar, serta memiliki kekuasaan pemaksa demi mempertahankan keteraturan dalam
masyarakat”(Gove, et.al., 1982: 22-28). Dengan demikian, tujuan pendirian
negara adalah untuk memelihara dan memaksakan hukum dan ketertiban dalam
masyarakat.
1.
Prespektif Al-Qur’an tentang
Politik-Pemerintahan
Al-Qur’an,
sebagai petunjuk (hudan) bagi umat manusia, menyediakan suatu dasar yang kokoh
dan permanen bagi seluruh prinsip-prinsip etika dan moral yang diperlukan dalam
kehidupan ini, termasuk di dalamnya masalah politik. Menurut Asad (1980:1-2),
al-Qur’an memberikan suatu jawaban komprehensif untuk persoalan tingkah laku
manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dalam rangka
penciptaan kehidupan yang seimbang di dunia ini, dengan tujuan akhir
kebahagiaan di akhirat kelak.
Selain itu,
al-Qur’an memandang kehidupan manusia sebagai suatu keseluruhan yang organik;
semua bagian-bagiannya haruslah dibimbing oleh petunjuk-petunjuk dan
perintah-perintah etik dan moral yang bersumber dari wahyu yang terakhir itu.
Untuk
menerapkan al-Qur’an dalam kehidupan politik praktis diperlukan usaha yang
sungguh-sungguh dalam memaknainya agar memperoleh pemahaman yang tepat, karena
al-Qur’an tidak menyebutkannya secara eksplisit dalam ayat-ayatnya. Sementara
Rasul Allah SAW dalam membangun masyarakat Islam yang berdaulat tidak menentukan
bentuk pemerintahan secara spesifik.
Sejumlah alasan berikut merupakan
jawaban atas pilihan sikap al-Qur’an di atas. Pertama, al-Qur’an pada
prinsipnya adalah petunjuk etis bagi manusia; ia bukanlah sebuah kitab ilmu
politik. Kedua, sudah merupakan suatu kenyataan bahwa institusi-institusi
sosio-politik dan organisasi-organisasi manusia selalu berubah dari masa ke
masa. Atau, dengan meminjam pendapat Asad (1961:12), diamnya al-Qur’an dalam
masalah ini “berarti memberikan sutu jaminan yang sangat esensial dalam
menghindari kekutan hukum dan sosial... .”
Tujuan
terpentingal-Qur’an adalah agar nilai-nilai dan perintah-perintah etiknya
dijunjung tinggi dan bersifat mengikat atas kegiatan-kegiatan sosio-politik
umat manusia. Nilai-nilai ini bertalian secara organik dengan prinsip-prinsip
keadilan,persamaan, dan kemerdekaan yang juga menempati posisi sentral dalam
ajaran moral al-qur’an. Dari perspektif ini, suatu negara hanyalah dapat
dikatakan bercorak Islam manakala keadilan dan lain-lainnya itu benar-benar
terwujud di dalamnya, dan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan rakyat.
Oleh
karena itu, untuk menegakkan keadilan dan memelihara perdamaian dan ketertiban,
Islam tidak diragukan lagi memerlukan suatu organisasi politik. Tapi organisasi
politik ini, sebagaimana telah disebut terdahulu, bukanlah suatu
kepanjangan(ekstensi) dari Islam; ia hanyalah suatu mesin kekuasaan yang
efektifm dan karena itu perlu dan harus ada.
Al-Qur’an tidak
membahas secara khusus tentang bentuk negara yang harus diikuti oleh umat
Islam. Perhatian utama al-Qur’an ialah agar masyarakat ditegakkan atas keadilan
dan moralitas. Maka, atas dasar nilai-nilai etis al-Qur’an itulah bangunan
politik Islam wajib ditegakkan. Namun karena al-Qur’an tidak menegaskan bentuk baku suatu negara,
maka model dan struktur ketatanegaraan Islam bukanlah sesuatu yang tidak dapat
berybah. Ia senantiasa terikat dengan perubahan, modifikasi, dan perbaikan,
serta dinamis seiring dengan tuntutan ruang dan waktu.
2.
Variasi pandangan umat Islam dalam melihat
relasi Islam dan Politik
Secara
kategorial, dalam memandang relasi Islam dan politik, para pemikir Muslim
terfragmentasi ke dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok “Islam Politik”
(al-Islam al-siyasi), yaitu kelompok yang dengan gigih menginginkandiwujudkannya
syariat Islam dalamkehidupan berbangsa dan bernegara melalui pranata negara
misalnya, dalam bentuk perundang-undangan, peraturan pemerintah, dan
sebagainya. Masuk dalam kelompok ini adalah Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha,
Hasan al-Banna, dan Abu al-‘Ala al-Maududi.
Kelompok ini
berpijak pada 3 prinsip utama, yaitu: (1) politik adalah bagian integral dari
Islam, karena itu praktik politik wajib dilakukan oleh setiap orang Islam.
Doktrin Islam, bagi para pendukung “Islam politik”, tidak hanya menyediakan visi
dan pandangan politik semata, tetapi juga cara-cara bagaimana pemerintah Islam
harus dijalankan; (2) Islam politik sudah menjadi anutan mayoritas kaum
Muslimin (jama’ah al-muslimin). Karena itu, orang yang tidak masuk dalam
komunitas besar Islam (al-sawad al-a’zham) dianggap telah keluar dari komunitas
Islam. Bahkan, bisa dinyatakan telah keluar dari zona Islam itu sendiri, yang
dalam fikih Islam disebut dengan istilah murtad;(3) Menegakkan jihad fi
sabilillah (berjuang di jalan Allah).
Kedua, kelompok
“moderat” (al-muttawassith) yang berpandangan bahwa hubungab agama dengan
politik-kenegaraan adalah relasi etik dan moral. Negara merupakan instrumen
politik untuk menegakkan nilai dan akhlak Islam yang bersifat universal.
Argumen yang dikemukakan oleh kelompok “Islam moderat” adalah bahwa konsep
negara dan pemerintah merupakan bagian dari ijtihad kaum Muslimin, karena Islam
tidak menentukan dengan jelas tata-negara dan sistem pemerintahan. Karena itu,
bentuk negara bisa republik, monarki, perserikatan, atau bentuk lain.
Tokoh-tokoh yang berhaluan demikian antara lain: Ahmad Amin, Muhammad Husein
Haikal, Muhammad ‘Imarah, Fazlur Rahman, Robert N. Bellah, Amin Rais, dan
Jalaluddin Rahmat(Ghazali, 2002:175)
Ketiga, kelompok “kiri Islam” (al-yasar al-Islami) yang
menolak penerapan syariat dan pembentukan negara Islam. Bagi kelompok ini,
Islam adalah agama, bukan negara. Lebih lanjut mereka menampik idealisasi
politik Nabi SAW di Madinah. Para pemikir yang berada dalam spektrum pemikiran
ini, antara lain: ‘Ali ‘Abd al-Raziq, Muhammad Sa’id al-Asymawi, Muhammad Ahmad
Khalfallah, Faraj Faudah, dan Abdurrahman Wahid(Khan, 1982:75-76).
Alasan yang dipedomani kelompok ini adalah:
a. Persoalan politik merupakan persoalan
historis, bukan teologis yang harus diyakini oleh setiap individu Muslim.
Karena sifatnya yang historis itulah, ia bukan Islam itu sendiri. Islam harus
dipisahkan dengan politik. Atau dengan kata lain, Islam tidak mengenal kesatuan
doktrin din dan daulah (al-Ashmawy, 1996:17-18). Tujuannya adalah agar tidak
terjadi politisasi agama hanya untuk kepentingan kelompok dan golongan
tertentu;
b. Praktik politik bukanlah suatu kewajiban agama
yang harus dijjalankan oleh para pemeluknya. Ia hanyalah praktik kehidupan
biasa yang para pelakunya bisa salah dan bisa juga benar. Karena itu, praktik
politik harus bersifat nir agama untuk menghindari seminimal mungkin terjadinya
pendangkalan hakikat Islam ke tingkat yang rendah dan hina, yang disebabkan
oleh tindakan politik atas nama agama (bi ism al-din). Sekali lagi, bagi
kelompok “kiri Islam”, Islam itu universal, sedangkan praktik politik itu
bersifat partikular (al-Ashmawy, 1989:138). Hakikat Islam adalah agama
kemanusiaan yang sangat menjunjung tinggi perbedaan. Islam adalah agma yang
bersifat terbuka. Islam tidak hanya terbatas pada satu golongan, perhimpunan
dan komunitas tertentu saja. Selama seseorang mengucapkan syahadat dan
mengimani rukun-rukun Islam, maka selamanya ia menjadi orang Muslim. Orang yang
beragama Islam bebas menentukan komunitas-komunitasnya, tokoh-tokohnya,
pandangan-pandangan politiknya sendiri, dan lain-lain;
c. Konsep jihad dalam Islam adalah jihad melawan
hawa nafsu. Jika jiwa kita terancam karena adanya suatu peperangan, maka sudah
selayaknya kita mempertahankan diri. Islam adalah agama yang mengajarkan cinta
kasih, kelembutan, dan persaudaraan. Karena itu, mengobarkan semangat jihad
dalam pengertian berperang melawan orang kafir adalah bentuk pelecehan dan
pengeringan makna Islam. Alasan ini sekaligus merupakan jawaban dan kritik
terhadap pendapat kelompok “Islam politik” (al-Islam al-siyasy).
Timbulnya variasi pemikiran tersebut tidak lepas dari watak Islam yang
sangat elastis dan interpretatif. Harus diakui bahwa kaum Muslimin tidak
memiliki model “negara Islam”yang jelas dan konkret. Masalah inilah yang pada
akhirnya menimbulkan penafsiran beragam, baik terhadap teks agama, maupun
terhadap praktik politiknya.
Lebih definitif lagi, keragaman teori politik Islam terjadi karena
sebab-sebab berikut. Pertama, belum ada kesepakatan tentang apa yang dimaksud
dengan syariat Islam itu. Apakar tema syariat lebih merujuk kepada makna
generiknya sebagai jalan hidup (al-sabil, al-sirath) sebagaimana dikonstatir
al-Qur’an; atau menunjuk kepada pranata legal yudisial seperti yang ada dalam
fikih. Kedua, negara Islam yang didirikan oleh nabi SAW di Madinah yang
dipandang ideal ternyata tidak memberikan model yang terperinci, yang bisa
dipakai dalam konteks kenergaraan sekarang. Ketiga, belum ada rumusan
konseptual yang jelas tentang apa yang dimaksud denga pemerintahan Islam
(daulah Islamiyah) itu (Ghazali, 2002:176).
Terkait dengan keragaman sikap umat Islam dalam melihat relasi Islam dan
politik, setidaknya ada tiga kelompok yang terlibat dalam pergumulan wacana
pemikiran politik ini, sebagaimana diuraikan diatas, yaitu: kelompok “Islam
politik”(al-Islam al-siyasy) yang konservatif, kelompok tengah (al-mutawassith)
yang moderat, dan kelompok “kiri Islam” (al-yasar al-Islamy) yang
liberal-sekular.
Berbeda halnya dengan kelompok “kiri Islam” yang menhendaki pemisahan tegas
antara Islam dan politik(fasl al-Islam bi al-siyasah), Muhammad ‘Imarah
memiliki pandangan yang lebih moderat. Dia meyakini bahwa Islam terkait dengan
politik, tetapi bukan dalam pengertian salah satu ayat Bibel yang berbunyi,
“Apa pun milik kaisar, dan apa pun milik Tuhan untuk Tuhan”(Reader to caesar
what is his, and render to Jesus whai is his!) (Taufik, 2001:213).
Menurut ‘Imarah, teori politik Islam—yang disepakati para sarjana
Muslim—meletakkan politik sebagai persoalan sosial yang profan dalam bingkai
prinsip-prinsip agama bagi pengelolaan hidup bermasyarakat, atau
ketentuan-ketentuan dasr yang mengatur perilaku manusia dalam kehidupan dan
pergaulan denagn sesamanya yang pada gilirannya akan mewarnai pola kehidupan
politiknya.
Selanjutnya, untuk menguatkan tesis perihal
keterkaitsn Islam dengan politik, ‘Imarah menyitir hadi Nabi SAWberikut:
“Dulu, kepemimpinan(baca: jabatan politik) Ban Israel
selalu dipegang para nabi. Kemangkatan seorang nabi itu senantiasa diiringi
dengan kedatangan nabi baru. Sesungguhnya tidak ada lagi nabi sepeninggalanku,
tetapi digantikan oleh para khalifah” (HR. Al-Bukhari, Ibn Majah, dan Ahmad).
3. Institusi Kalifah dalam Tradisi Politik Islam
Khalifah akhir-akhir ini menjadi tema pembicaraan aktual yang ramai dibahas dalam
berbagai forum dan kesempatan. Berbagai pembicaraan tersebut berupaya
mendiskusikan konsep khalifah dari
beragam sudut pandang, tergantung pada motif yang melatarinya.
Sebagian ahli berpandangan
bahwa konsep khalifah tidak memiliki
landasan tekstual (nash) yang
konklusif dalam Islam. Kekurangan tersebut dapat dilihat dari tidak adanya
pembakuan konsep Khalifah yang dapat
diberlakukan secara universal (one size
fits for all). Memang Al-Qur’an dan hadis secara eksplisit tidak menetapkan
sistem dan bentuk institusi khalifah,
apalagi struktur organisasi serta landasan filosofisnya.
Benar, sejak zaman Nabi
SAW,masyarakat Muslim sudah terhimpun dalam sebuah organisasi politik bernama
negara (Gibb, 1955:4). Sebagai komunitas berdaulat dalam sebuah negara, mereka
tentu sudah mengadopsi bentuk tertentu dari institusi khalifah. Hanya saja, pembentukan khlifah saat itu barangkat dari format konsep normatif, tetapi
bergerak dalam bentuk praktis historis. Implikasi dari tidak adanya konsep
Normatif itu adalah bahwa konsep khalifah
akhirnya hanya didasarkan pada serpihan-serpihan ayat Al-Qur’an serta
sejumlah hadis saja. Dengan begitu konsep khalifah
yang diaktualisasikan hanya mampu menyentuh prinsip-prinsip dasar
kelembagaannya saja (al-khalidi, 1980:8).
Bukti klasik dari tidak adanya
rujukan tekstual yang konklusif tersebut adalah bahwa setelah Rosul SAW wafat,
para sahabat tidak memperoleh acuan normatif dari Nabi SAW untuk menentukan
figur penggantinya sebagai penyelenggara tugas-tugas eksekutif pemerintahan Madinah. Nabi SAW memang tidak
memberikan kriteria untuk calon penggantinya kelak setelah kewafatanna.
Kriteria-kriteria yang diperlukan untuk mengangkat pengganti beliau justru diperoleh
dari gagasan-gagasan para sahabat, yang kemudian mereka tuangkan dalam bentuk
prosedur pengangkatan Abu Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah (pengganti) Nabi.
Prosedur pemilihan Abu Bakar,
yang dikenal deengan bay’at saqifah
ini, kemudian ditetapkan oleh kalangan Muslim Sunni sebagai landasan ideal
untuk menyelenggarakan suksesi kepemimpinan dalam Islam. Araahli menilai bahwa
prosedur pemilihan Abu Bakar merupakan sebuah konsep demokratis, karena
didasarkan pada asas kompetisi serta partisipasi publik lewat tiga tahap,
yaitu: pencalonan (nomination), kompromi
antar kelompok (mutual consultation),
dan bay’at (oath of alligiance)
(Hamim, 2004: 6-9). Selanjutnya model khlifah
yang diteruskan pada masa sahabat Umar bin al-Khaththab sebagai khaliifah, Abu Bakar al-Shiddiq menunjuk
sejumlah saahabat (semcam panitia ad-hoc) untuk menentukan personilnya yang
telah dipilih oleh abu Bakar RA. Model ini berubah ketika Usman bin Affan
menjabat Khalifah, yaitu dengan
sistem formatur.
dalam Hadis Nabi yang terdapat
dalam Musnad Ahmad bin Hanbal yang artinya seperti berikt ini:
Dari Nu’man bin Basyir, ia berkata:”kita duduk di masjid
beserta Rasul Allah SAW, dan Basyir adalah seorang yang mencatat hadis beliau.
“Datangglah Abu Tsa’labah al-Khusyani sembari berkata: “wahai Basyir bin Sa’ad,
apakah kamu menghafal hadis Rasul Allah SAW tentang para pemimpin?” Hudzaifah
menjawab: “Aku menghafal khutbah beliau”. Maka Abu Tsa’labah duduk dan
Hudzaifah berujar: “kenabian ada
bersamamu selama Allah menghendaki ia tetap ada. Kemudian jika Allah
menghendaki untuk mengangkatnya, maka akan ada khilafah atas menurut metode
kenabian. Ia akan ada selama Allah menghendakinya. Selanjutnya, ada sistem
kerajaan yang mencengkeram. Ia akan ada selama Allah menghendakinya. Lalu,
Allah mengangkatnya, jika Allah menghendakinya. Berikutnya, ada kerajaan yang
otoriter. Ia ada selama Allah menghendaki. Kemudian Allah mengangkatnya jika
Allah menghendakinya. Lalu, ada khilafah atas menurut metode kenabian. Lantas
beliau diam.
Habib berkata: “ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi
khalifah dan Yazid bin Nu’am bin Basyir menjadi sahabatnya, aku tuliskan hadis
ini mengingatkannya. Aku berkata padanya: “Sesungguhnya aku berharap agar ia
menjadi amirul al-mu’minin, yaitu Umar sesudah berlalunya kerajaan yang
mencengkeram dan otoriter. Maka aku sampaikan suratku ini kepada Umar bin Abdul
Aziz. Ia senang dan mengaguminya.
Terlihat
dari ahdis ini bahwa pemrintahan dalam Islam itu berubah secara dinamissesuai
dengan kondisi zamannya.khilafah bukan satu-satunya bentuk pemerintahan yang
ada dalam dunia Islam.